> Pendahuluan
Setiap tahun pada tanggal 10 November bangsa Indonesia memperingati tanggal tersebut sebagai Hari Pahlawan. Namun nampaknya tidak banyak yang mengetahui penyebabnya, mengapa Inggris yang ditugaskan oleh Tentara Sekutu (Allied Forces), pemenang perang dunia kedua untuk melucuti tentara Jepang dan memulhkan keamanan, ternyata mengerahkan pasukan terbesarnya setelah usai perang dunia kedua.Yang juga tidak pernah dibahas adalah, dampak dari pemboman tersebut, di mana terjadi kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) yang telah dilakukan oleh tentara Inggris.
Selain itu, apa pengaruh pertempuran Oktober-November 1945 di Surabaya terhadap perjuangan Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945?
> Pertempuran 28 – 30 Oktober 1945
Brigade 49 dari Divisi 23 Tentara Inggris di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tiba di Surabaya tanggal 25 Oktober 1945.Secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forceskepada Supreme Commander Allied Forces South East Easia Command(Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Komando Asia Tenggara), Vice Admiral Lord Louis Mountbatten adalah:
- Melucuti tentara Jepang serta mengatur kepulangan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
- Membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
- Menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).
Namun ternyata ada tugas rahasia yang dilakukan oleh tentara Inggris -dengan mengatasnamakan Sekutu- yaitu mengembalikan Indonesia sebagai jajahan kepada Belanda. Di Surabaya, setelah dilakukan perundingan yang panjang dan alot, akhirnya pada tanggal 26 Oktober 1945 dicapai kesepakatan yang isinya:
- Yang dilucuti senjata-senjatanya hanya tentara Jepang. (The disarmament shall be carried out only in the Japanese forces).
- Tentara Inggris selaku wakil Sekutu akan membantu Indonesia dalam pemeliharaan keamanan dan perdamaian. (The allied forces will assist in the maintenace of law, order and peace).
- Setelah semua tentara Jepang dilucuti, maka mereka akan diangkut melalui laut. (The Japanese forces after being disarmed shall be transported by sea).
Agar kerjasama dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka segera akan
dibentuk suatu “Contact Bureau”. Selain itu tentara Sekutu berjanji tidak
membawa tentara Belanda dan juga mengatakan bahwa di dalam tentara Sekutu tidak
terdapat tentara Belanda.
Pada 27 Oktober 1945 sekitar pukul 11.00, satu pesawat terbang Dakota yang
datang dari Jakarta, menyebarkan pamflet di atas kota Surabaya. Isi pamflet
-atas instruksi langsung dari Mayor Jenderal Hawthorn, panglima Divisi 23- yang
disebarkan di seluruh Jawa, memerintahkan kepada seluruh penduduk untuk dalam
waktu 2 x 24 jam menyerahkan semua senjata yang mereka miliki kepada Perwakilan
sekutu di Surabaya, yang praktis ketika itu hanya diwakili tentara Inggris.
Dalam seruan tersebut tercantum a.l.: “Supaya semua penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali semua
senjata dan peralatan Jepang kepada tentara Inggris….Barangsiapa yang memiliki
senjata dan menolak untuk menyerahkannya kepada tentara Sekutu, akan ditembak
di tempat (persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied
Forces are liable to be shot).”
Dikabarkan, bahwa Mallaby sendiri terkejut dengan isi pamflet, karena jelas
bertentangan dengan kesepakatan antara pihak Inggris dan Indonesia tanggal 26
Oktober, sehari sebelum pamflet tersebut disebarkan. Namun pimpinan brigade
Inggris mengatakan, mereka terpaksa melakukan perintah atasan. Mereka mulai
menahan semua kendaraan dan menyita senjata dari pihak Indonesia. Maka
berkobarlah api kemarahan di pihak Indonesia, karena mereka menganggap pihak
Inggris telah melanggar kesepakatan yang ditandatangani tanggal 26 Oktober. Di
samping itu langkah-langkah Inggris yang akan mendudukkan Belanda kembali
sebagai penguasa di Indonesia kian nyata. Gubernur Suryo segera mengirim kawat
yang disusul dengan laporan panjang lebar ke Pemerintah Pusat di Jakarta.
Jawaban baru diterima sekitar pukul 15.00 dan berbunyi:
“… Diminta kebijaksanaan Pemerintah Jawa Timur setempat agar pihak ketentaraan
dan para pemuda-pemudanya tidak melakukan perlawanan terhadap tentara Sekutu…”
Gubernur Suryo tidak berhasil menemui Mayor Jenderal drg. Mustopo, lalu
menyerahkan kawat tersebut kepada Residen Sudirman. Tepat pukul 17.00, Residen
Sudirman tiba di markas TKR Surabaya di Jalan Embong Sawo dan menyerahkan kawat
tersebut kepada komandan Divisi, Mayor Jenderal Yonosewoyo.
Tak lama kemudian datang Kolonel Pugh yang menyampaikan pendirian Brigjen
Mallaby mengenai seruan dalam pamflet terrsebut, bahwa Mallaby akan
melaksanakan tugas sesuai perintah dari Jakarta. Pugh kembali ke markasnya
tanpa mendapat jawaban dari pimpinan TKR.
Setelah kepergian Kolonel Pugh, dilakukan perundingan sekitar setengah jam
antara Residen Sudirman dan Panglima Divisi Yonosewoyo, dengan keputusan:
“Komando Divisi Surabaya akan segera memberikan jawaban terhadap ultimatum
tersebut secara militer.”
Dalam pertemuan kilat pimpinan TKR Surabaya, dibahas berbagai pertimbangan dan
diperhitungkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Apabila mereka
menyerahkan senjata kepada Sekutu, berarti pihak Indonesia akan lumpuh, karena
tidak mempunyai kekuatan lagi. Apabila tidak menyerahkan senjata, ancamannya
akan ditembak di tempat oleh pasukan Inggris/ Sekutu.
Kubu Indonesia memperhitungkan, pihak Inggris tidak mengetahui kekuatan pasukan
serta persenjataan lawannya. Sedangkan telah diketahui dengan jelas, bahwa
kekuatan Inggris hanyalah satu brigade, atau sekitar 5.000 orang. Artinya,
kekuatan musuh jauh di bawah kekuatan Indonesia di Surabaya dan sekitarnya,
yang memiliki pasukan bersenjata kurang lebih 30.000 orang. Jenis senjata yang
dimiliki mulai dari senjata ringan hingga berat, termasuk meriam dan tank
peninggalan Jepang yang, sebagian terbesar masih utuh. Selain kekuatan pasukan
terbatas, pasukan Inggris yang baru dua hari mendarat, dipastikan tak mengerti
liku-liku kota Surabaya.
Sesuai dengan strategi Carl von Clausewitz, pakar teori militer Prusia, bahwa:
”Angriff ist die beste Verteidigung” (Menyerang adalah pertahanan yang
terbaik), maka dengan suara bulat diputuskan: “Menyerang Inggris!”.
Perintah diberikan langsung oleh Komandan TKR Surabaya, Mayor Jenderal
Yonosewoyo. Subuh baru merekah. Serangan besar-besaran pun mulai dilancarkan
pada hari Minggu, 28 Oktober pukul 4.30 dengan satu tekad, tentara Inggris yang
membantu Belanda, harus dihalau dari Surabaya, dan penjajah harus dipaksa
angkat kaki dari bumi Indonesia. Praktis seluruh kekuatan bersenjata Indonesia
yang berada di Surabaya bersatu. Juga pasukan-pasukan dan sukarelawan Palang
Merah/kesehatan dari kota-kota lain di Jawa Timur a.l. dari Sidoarjo, Gresik,
Jombang dan Malang berdatangan ke Surabaya untuk membantu.
Hal ini benar-benar di luar perhitungan Inggris, terutama mereka tidak
mengetahui kekuatan dan persenjataan pihak Indonesia. Selama ini, informasi
yang mereka peroleh mengenai Indonesia, hanya dari pihak Belanda, sedangkan
Belanda sendiri diperkirakan tidak mengetahui perkembangan yang terjadi di
Surabaya –di Indonesia pada umumnya- sejak Belanda menyerah kepada Jepang
tanggal 8 Maret 1942. Sebagian terbesar dari mereka diinternir oleh Jepang, dan
baru dibebaskan pada akhir Agustus 1945. Nampaknya, informasi yang diberikan
oleh Belanda kepada Inggris sangat minim, atau salah.
Di samping BKR/TKR yang menjadi cikalbakal TNI, juga tercatat sekitar 60
pasukan dan laskar yang didirikan oleh para pemuda atau karyawan berbagai
profesi, Pasukan Pelajar (TRIP), Pasukan BKR Tanjung Perak, Pasukan Kimia TKR,
Pasukan Genie Tempur (Genie Don Bosco), Pasukan BKR Kereta Api, Pasukan BKR
Pekerjaan Umum, Pasukan Sriwijaya, Pasukan Buruh Laut, Pasukan Sawunggaling,
TKR Laut, Barisan Hizbullah, Lasykar Minyak, TKR Mojokerto, TKR Gresik, Pasukan
Jarot Subiantoro, Pasukan Magenda Bondowoso, Pasukan Sadeli Bandung. Selain itu
ada pula pasukan-pasukan pembantu seperti Corps Palang Merah, Corps Kesehatan,
Corps PTT, Corps Pegadaian, bahkan ada juga Pasukan Narapidana Kalisosok, dll.
Puluhan kelompok pemuda yang berasal dari suku tertentu membentuk pasukan
sendiri, seperti misalnya Pasukan Pemuda Sulawesi (KRIS-Kebaktian Rakyat
Indonesia Sulawesi), Pasukan Pemuda Kalimantan, Pemuda Ponorogo, dan juga ada
Pasukan Sriwijaya, yang sebagian terbesar terdiri dari pemuda mantan Gyugun
(sebutan Heiho di Sumatera) dari Batak dan ada juga yang dari Aceh. Pasukan
Sriwijaya ini telah mempunyai pengalaman bertempur melawan tentara Sekutu di
Morotai, Halmahera Utara.
Bukan saja BKR/TKR yang menjadi cikalbakal Angkatan Darat, melainkan dibentuk
juga pasukan Laut dan Udara. Tercatat a.l. Pasukan BKR Laut/TKR Laut Tanjung
Perak, Pasukan Angkatan Muda Penataran Angkatan Laut, Pasukan BKR/TKR Udara di
Morokrembangan.
Selain pasukan-pasukan yang bersenjata, diperkirakan lebih dari 100.000 pemuda
dari Surabaya dan sekitarnya, hanya dengan bersenjatakan bambu runcing dan
clurit ikut dalam pertempuran selama tiga hari. Kebanyakan dari mereka yang
belum memiliki senjata, bertekad untuk merebut senjata dari tangan tentara
Inggris.
Selain para wanita yang rela berkorban sebagai anggota Palang Merah, juga tak
dapat diabaikan peran serta ibu-ibu juru masak dan yang membantu di dapur umum
yang didirikan untuk kepentingan para pejuang Republik Indonesia. Para pejuang
dan sukarelawan itu bukan hanya penduduk Surabaya, melainkan berdatangan dari
kota-kota lain di sekitar Surabaya, seperti Gresik, Jombang, Sidoarjo,
Pasuruan, Bondowoso, Ponorogo bahkan dari Mojokerto, Malang, pulau Madura, dan
Bandung.
> Inggris Mengibarkan Bendera Putih
Serbuan ke delapan pos pertahanan Inggris di tengah kota dilengkapi dengan blokade
total: Aliran listrik dan air di wilayah pos pertahanan Inggris dimatikan.
Truk-truk yang mengangkut logistik untuk pasukan Inggris, terutama yang akan
mengantarkan makanan dan minuman bisa dicegah. Kekacauan demi kekacauan
menyebabkan suplai yang dijatuhkan pesawat Inggris dari udara, ikut pula
terganggu. Tidak sedikit yang meleset dari sasaran, bahkan boleh dikatakan
hampir semua jatuh ke tangan pihak Indonesia.
Dalam penyerbuan itu, korban di pihak Indonesia tidak sedikit, sebab berbagai
pasukan –khususnya laskar pemuda- tanpa pendidikan militer dan pengalaman
tempur, hanya bermodalkan semangat dan banyak yang hanya bersenjatakan clurit
atau bambu runcing, begitu bersemangat maju menggempur musuh yang notabene
tentara profesional.
Dengan bermodalkan keberanian serta semangat ingin mempertahankan kemerdekaan
dan tak mau dijajah lagi, para pejuang Indonesia akhirnya mampu
memporak-porandakan kubu Inggris. Satu hari satu malam tidak menerima kiriman
makanan dan minuman, serta korban yang jatuh di pihak mereka sangat besar,
pasukan Inggris akhirnya mengibarkan bendera putih, meminta berunding.
Mallaby menyadari, bila pertempuran dilanjutkan, tentara Inggris akan disapu
bersih, seperti tertulis dalam kesaksian Capt. R.C. Smith:
“…….. on further consideration, he (Mallaby, red.) decided that the
company had been in so bad a position before, that any further fighting would
lead to their being wiped out..."
Walaupun ia sadari tidak ada pilihan lain, tetapi ketika persyaratan yang
diajukan Indonesia antara lain Inggris harus angkat kaki dari Surabaya dan
meninggalkan persenjataan yang ada di pos-pos pertahanan yang telah dikepung,
Mallaby menilai tampaknya terlalu berat baginya sebagai pimpinan tentara yang
baru memenangkan Perang Dunia II untuk melakukan hal itu.
> Presiden Sukarno Diminta Melerai “Insiden Surabaya”
Ternyata pada hari pertama penyerbuan rakyat Indonesia terhadap pos-pos
pertahanan tentara Inggris di Surabaya, pimpinan tentara Inggris menyadari,
bahwa mereka tidak akan kuat menghadapi gempuran rakyat Indonesia di Surabaya.
Mallaby (lihat kesaksian Kapten R.C. Smith) memperhitungkan, bahwa Brigade 49
ini akan “wiped out” (disapu bersih), sehingga pada malam hari tanggal 28
Oktober 1945, mereka segera menghubungi pimpinan tertinggi tentara Inggris di
Jakarta untuk meminta bantuan. Menurut penilaian pimpinan tertinggi tentara
Inggris, hanya Presiden Sukarno yang sanggup mengatasi situasi seperti ini di
Surabaya. Kolonel. A.J.F. Doulton menulis: ”The heroic resistance of the british troops could only end in the
extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of
the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the
influence of Sukarno.” (Perlawanan heroik tentara Inggris hanya akan berakhir
dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada yang dapat mengendalikan nafsu rakyat
banyak itu. Tidak ada tokoh seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu
pada pengaruh Sukarno).
Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Timur, Letnan Jenderal Sir Philip
Christison meminta Presiden Sukarno untuk melerai “incident” di Surabaya.
Pimpinan tentara Inggris menilai, situasi di Surabaya sangat mengkhawatirkan
bagi mereka, sehingga Presiden Sukarno yang sedang tidur, didesak agar segera
dibangunkan. Dalam Autobiografi yang ditulis oleh Cindy Adams, Sukarno
menuturkan: “Tukimin yang setia berbisik-bisik. Itu ada seorang yang menamakan dirinya
Pembantu Khusus (ADC - aide-de-camp = perwira pembantu –pen.) dari komandan
Tentara Inggris. Ia menyatakan, bahwa ada persoalan yang amat penting.
Kepadanya telah saya jawab, bahwa Bapak sedang tidur, tetapi ia mendesak agar
supaya saya membangunkan Bapak.
Akhirnya setelah saya bangun, selama 30 menit terpaksa berbicara melalui telepon. Tetapi tidak sepatah kata pun apa yang sedang menggelisahkan perasaan saya dari pembicaraan telepon itu saya ungkapkan kepada intern keluarga saya, baik Fatmawati maupun kepada Tukimin. Saya hanya menyatakan bahwa besok pagi saya akan ke Surabaya dengan kapal terbang militer kepunyaan Inggris. Dan kemudian saya kembali ke kamar tidur, dan pelan-pelan menutup pintu.
Saya dengan Hatta, yang baru saja dipilih menjadi Wakil Presiden, selama lebih
kurang 2 jam berbicara dengan pihak Sekutu Inggris, tetapi pihak Inggris
mengharapkan saya, sebab saya dibutuhkan. Dan saya tahu, bahwa tidak akan ada
sesuatu pun yang akan dapat menghentikan persoalan ini. Di Surabaya, ternyata Inggris telah menempatkan markasnya di gedung-gedung di
tengah kota Surabaya sebagai pusatnya….”
Pada 29 Oktober 1949 di Kompleks Darmo, Kapten Flower yang telah mengibarkan
bendera putih, masih ditembaki oleh pihak Indonesia; untung dia selamat, tidak
terkena tembakan. Kapten Flower, yang ternyata berkebangsaan Australia,
kemudian diterima oleh Kolonel dr. Wiliater Hutagalung. Hutagalung mem-fait
accompli, dengan menyatakan: “We accept your unconditional surrender!”, dan mengatakan, bahwa pihak Indonesia akan membawa tentara Inggris -setelah
dilucuti- kembali ke kapal mereka di pelabuhan.
Pimpinan Republik Indonesia di Jakarta pada waktu itu tidak menghendaki adanya
konfrontasi bersenjata melawan Inggris, apalagi melawan Sekutu. Pada 29 Oktober
sore hari, Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M. Hatta dan Menteri
Penerangan Amir Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat
militer yang disediakan oleh Inggris. Segera hari itu juga Presiden Sukarno
bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang
dituangkan dalam “Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident; a
provisional agreement between President Soekarno of the Republic
Indonesia and Brigadier Mallaby, concluded on the 29th October 1945.”
Isinya a.l.:
- Perjanjian diadakan antara Panglima Tentara Pendudukan Surabaya dengan PYM Ir. Sukarno, Presiden Republik Indonesia untuk mempertahankan ketenteraman kota Surabaya.
- Untuk menenteramkan, diadakan perdamaian: ialah tembakan-tembakan dari kedua pihak harus diberhentikan.
- Syarat-syarat termasuk dalam surat selebaran yang disebarkan oleh sebuah pesawat terbang tempo hari (yang dimaksud adalah pada tanggal 27 Oktober 1945) akan diperundingkan antara PYM Ir Sukarno dengan Panglima Tertinggi Tentara pendudukan seluruh Jawa pada tanggal 30 Oktober besok.
Mayjen Hawthorn, Panglima Divisi 23, tiba tanggal 30 Oktober pagi hari.
Perundingan yang juga dilakukan di gubernuran segera dimulai antara Presiden
Sukarno dengan Hawthorn. Dari pihak Indonesia, tuntutan utama adalah pencabutan
butir dalam ultimatum/pamflet tanggal 27 Oktober, yaitu penyerahan senjata
kepada tentara Sekutu; sedangkan tentara Sekutu menolak memberikan senjata
mereka kepada pihak Indonesia. Perundingan alot yang dimulai sejak pagi hari
baru berakhir sekitar pukul13.00, menghasilkan kesepakatan, yang kemudian
dikenal sebagai kesepakatan Sukarno – Hawthorn. Isi kesepakatan antara lain:
- The Proclamation previously scatttered by aircraft shall be annulled; that is to say, the disarmament of the TKR and the Pemudas shall not be carried out.
- The Allied forces shall not guard the city.
-
The TKR shall be recognized; its continued use of arms shall be
allowed.
Yang terpenting bagi pihak Indonesia dalam kesepakatan ini adalah pencabutan
perintah melalui pamflet tertanggal 27 Oktober dan pengakuan terhadap TKR yang
bersenjata.
Brigadir Jenderal Mallaby Tewas
Setelah disepakati truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober, pimpinan sipil
dan militer pihak Indonesia, serta pimpinan militer Inggris bersama-sama
keliling kota dengan iring-iringan mobil, untuk menyebarluaskan kesepakatan
tersebut. Dari 8 pos pertahanan Inggris, 6 di antaranya tidak ada masalah,
hanya di dua tempat, yakni di Gedung Lindeteves dan Gedung Internatio yang
masih ada permasalahan/tembak-menembak.
Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan
Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio, pos pertahanan Inggris
terakhir yang bermasalah. Ketika rombongan tiba di lokasi tersebut pada petang
hari, nampak bahwa gedung tersebut dikepung oleh ratusan pemuda Indonesia.
Setelah meliwati Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area dan berhenti di
depan gedung. Para pemimpin Indonesia segera ke luar kendaraan dan meneriakkan
kepada massa, supaya menghentikan tembak-menembak.
Kapten Shaw, Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan ditugaskan masuk ke gedung
untuk menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam gedung, hasil
perundingan antara Inggris dengan Indonesia. Mallaby ada di dalam mobil yang
diparkir di depan Gedung Internatio. Beberapa saat setelah rombongan masuk,
terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari gedung, dan tak lama kemudian,
terdengar bunyi tembakan dari arah gedung. Tembakan ini langsung dibalas oleh
pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung sekitar dua jam. Setelah
tembak-menembak dapat dihentikan, terlihat mobil Mallaby hancur dan Mallaby
sendiri ditemukan telah tewas.
Ada dua kejadian pada tanggal 30 Oktober 1945, yang pada waktu itu dilemparkan
oleh Inggris ke pihak Indonesia, sebagai yang bertanggung jawab, dan kemudian
dijadikan alasan Mansergh untuk “menghukum para ekstremis” dengan mengeluarkan
ultimatum tanggal 9 November 1945:
1. Orang-orang Indonesia memulai penembakan, dan dengan demikian telah
melanggar gencatan senjata (truce),
2. Orang-orang Indonesia secara licik telah membunuh Brigjen Mallaby.
Tewasnya Mallaby memang sangat kontroversial, tetapi mengenai siapa yang
memulai menembak, di kemudian hari cukup jelas. Kesaksian tersebut justru
datangnya dari pihak Inggris. Ini berdasarkan keterangan beberapa perwira
Inggris yang diberikan kepada beberapa pihak. Yang paling menarik adalah yang
disampaikan kepada Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai
Buruh (Labour). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen (House of
Commons) Tom Driberg, menyampaikan:
“….. some of the press reports from Indonesia have been entirely
responsible. In particular, I have learned from officers who have recently
returned that some of the stories which have been told, not only in the
newspaper, but, I am sorry to say, from the Government Front Bench in his
House, have been very far from accurate and have innecessarily imparted
prejudice and concerns the lamented death of Brigadier Mallaby. That was
announced to us as a foul murder, and we accepted it as such. I have learned
from officers who were present when it happened the exact details and it is
perfectly clear that Brigadier Mallaby was not murdered but was honourably
killed in action……. The incident was somewhat confused –as such incidents are-
but it took place in and near Union Square in Surabaya. There had been
discussions about a truce earlier in the day. A large crowd of Indonesians –a
mob if you like- had gathered in the square and were in a rather excited state.
About 20 Indians, in a building on the other side of the square, had been cut
off from telephonic communication and did not know about the truce. They were
firing sporadically on the mob. Brigadier Mallaby came out from the
discussions, walked straight into the crowd, with great courage, and shouted to
the Indians to cease fire. They obeyed him. Possibly half an hour later, the
mob in the square became turbulent again. Brigadier Mallaby, at a certain point
in the proceedings, ordered the Indians to open fire again. They opened fire
with two Bren Guns and the mob dispersed and went to cover; then fighting broke
out again in good earnest. It is apparent that when Brigadier Mallaby gave the
order to open fire again, the truce was in fact broken, at any rate locally.
Twenty minutes to half an hour after that, he was unfortunately killed in his
car –although it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians
who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on
him.
I do not think this amounts to charge of foul murder …..because my information
came absolutely at first hand from a British officer who was actually on the
spot at the moment, whose bona fides I have no reason to question…..”
Di sini Tom Driberg meragukan, bahwa Mallaby terbunuh oleh orang Indonesia. Dia
menyatakan:
“….it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were
approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.”
Selanjutnya dia juga membantah, bahwa tewasnya Mallaby akibat “dibunuh secara
licik” (foully murdered). Kelihatannya pihak pimpinan tentara Inggris -untuk
membangkitkan/ memperkuat rasa antipati terhadap Indonesia- rela mendegradasi
kematian seorang perwira tinggi menjadi “dibunuh secara licik” daripada
menyatakan “killed in action” –tewas dalam pertempuran- yang menjadi kehormatan
bagi setiap prajurit.
Juga penuturan Venu K. Gopal, waktu itu berpangkat Mayor, yang adalah Komandan
Kompi D, Batalion 6, Mahratta. Kompi D ini mengambil tempat pertahanan di
Gedung Internatio. Tanggal 8 Agustus 1974, dia menulis kepada J.G.A. Parrot
antara lain :
“Let me first give you some background. “D” Coy had been under fire off and on
and had already casualties. The firing came from other buildings on the square
and by and large we were able to contain it. We could, however, see that armed
men barred all the exits from the square.
Meanwhile armed Indonesians swarmed over to the veranda of the building and I
had to bluntly tell them that I would fire if they started pressing into the
building. By this time I could not see Brigade Mallaby or the LOs (Liaison
Officers) because of the crowds on the veranda.
Just then Capt. Shaw and Kundan ( I did not know their names at that time)
tried to get into the building but were prevented. Kundan then shouted to the
crowd that he would get us surrender and he and Capt.Shaw were then allowed to
go into the building if they took an Indonesian officer with them. I allowed
them in hoping to play for time. After a little time Kundan went out of the
building, leaving Capt. Shaw and the Indonesian Officer behind.
Soon thereafter the armed men started pushing in and I was left with no option
but to open fire. The Decision was mine and mine alone. Capt. Smith is correct
when he says that BM (Mallaby-pen.) did not give any orders to Capt. Shaw..”
Dengan pengakuan Mayor Gopal, Komandan Kompi D yang bertahan di Gedung
Internatio, sekarang terbukti, bahwa yang memulai menembak adalah pihak
Inggris; tetapi kelihatannya dia masih ingin melindungi bekas atasannya dengan
menggarisbawahi, bahwa perintah menembak tersebut adalah keputusannya sendiri.
Ini jelas bertentangan dengan kesaksian T.D. Kundan, yang diperkuat dengan
kesaksian seorang perwira Inggris melalui Tom Driberg. Dengan pengakuan ini
terlihat jelas, bahwa Inggris pada waktu itu memutar balikkan fakta dan menuduh
bahwa gencatan senjata telah dilanggar pihak Indonesia (the truce which had
been broken). Di dalam situasi tegang bunyi ledakan ataupun tembakan akan
menimbulkan kepanikan pada kelompok-kelompok yang masih diliputi suasana
tempur, sehingga tembakan tersebut segera dibalas; maka pertempuran di seputar
Gedung Internatio pun pecah lagi.
Dari pengakuan kedua perwira Inggris tersebut telah jelas, bahwa pemicu
terjadinya tembak-menembak adalah pihak Inggris sendiri. Dugaan ini sebenarnya
tepat, bila disimak jalan pikiran Mallaby, seperti dituliskan oleh Capt.
Smith:
“…He (Mallaby, red.) did not believe in the safe-conducts in so far as it
applied to us, but thought that some at least of the Company might get away.
Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders…..”
Sebelum itu, menurut Smith, telah terjadi perbedaan pendapat antara Kapten Shaw
dan Mallaby mengenai permintaan para pemuda Indonesia, agar tentara Inggris
meninggalkan persenjataan mereka di dalam gedung. Awalnya, Kapten Shaw
menyetujui permintaan ini, tetapi Mallaby kemudian membatalkannya. Smith
:
“…Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down
their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safeconduct
back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal.
After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the
indonesians through his job as FSO, and who had been a considerable strain
since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility.
The Brigadier at once countemanded this………”
Uraian Tom Driberg di Parlemen Inggris (House of Commons) kelihatannya
keterangannya diperoleh dari Kapten Shaw, ajudan Mallaby pada waktu itu.
Kemudian tuduhan kedua, bahwa orang Indonesia “secara licik membunuh Mallaby”,
perlu diteliti lebih lanjut. Di pihak Indonesia banyak orang mengaku bahwa
dialah yang menembak Mallaby. Hj. Lukitaningsih I. Rajamin-Supandhan mencatat,
ada sekitar 12 orang yang mengaku sebagai yang menembak Mallaby. Namun menurut
penilaian beberapa pelaku sejarah, dari sejumlah keterangan yang diberikan,
cerita yang benar kemungkinan besar yang disampaikan oleh Abdul Azis. (Lihat:
Barlan Setiadijaya, 10 November 1945…., hlm. 429-435.) Dul Arnowo mencatat
laporan seorang saksi mata, Ali Harun, yang kemudian diteruskan ke Presiden
Sukarno. Surat tersebut dibawa oleh Kolonel dr. W. Hutagalung ke Jakarta, dan
diserahkan langsung kepada Presiden Sukarno pada tanggal 8 November 1945.
Dari berbagai penuturan, memang benar adanya penembakan dengan menggunakan
pistol oleh seorang pemuda Indonesia ke arah Mallaby, tetapi tidak ada seorang
pun yang dapat memastikan, bahwa Mallaby memang tewas akibat tembakan tersebut.
Yang menarik untuk dicermati adalah pengakuan Kapten R.C. Smith dari Batalyon
6, Resimen Mahratta, yang pada waktu itu menjabat sebagai Liaison Officer
Brigade 49. Tanggal 31 Oktober, dia memberikan laporannya yang pertama,
kemudian pada bulan Februari, sehubungan dengan keterangan Tom Driberg di House
of Commons. Laporan Smith dimuat oleh J.G.A. Parrot, dalam analisisnya, Who
Killed Brigadier Mallaby? Kapten R.C. Smith menulis:
“The Report by Capt. R.C. Smith.
At approximately 1230 hrs. on 30th October, Capt T.L. Laughland and I were
ordered by Col. L.H.O.Pugh, DSO, 2i/c (Second in Command) of the Bde., to proceed
to the Government offices, where we were each to collect an Indonesian
representative. From there one of us was to go north, and the other south,
through the town, and try to persuade the mobs to go back to their barracks.
Brigadier Mallaby was at this time in conference with the Governor in the
Government Offices.
On arrival there, we were told by the Brigadier that the Indonesians had
refused to treat with anyone except him. Accordingly we set off with the
Brigadier and the FSO (Field Security Officer), Capt. Shaw, plus the leaders of
the various parties, in several cars, the foremost of which was flying the
white flag.
The first place to which we went was a large building about 150 yards west of
the Kali Mas River, which runs north and south through the town. One Coy of the
6 Mahrattas had been having a very stiff fight in this building against about
five hundred Indonesians, and had been in considerable difficulties.
On our arrival there, the mob was collected round the cars, and the various
party leaders made speeches to them, in an attempt to persuade them to return
to their barracks. The speeches were at first quite well received, and the
necessary promises given.
We then got into our cars and set off for the next position. We had only gone
about 100 yards when we were stopped by the mob aproximately 20 yards from the
Kali Mas. From then on the situation rapidly deteriorated. The mob leaders
began to incite the mob, and the party leaders gradually lost control. The mob,
which up to that time had seemed fairly friendly towards us, became distinctly
menacing: swords were waved, and pistols pointed at us and we were left with
very little doubt as to their intentions.
Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down
their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safe-conduct
back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal.
After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the
indonesians through his job as FSO, and who had been under a considerable
strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own
responsibility. The Brigadier at once countemanded this: on further
consideration, he decided that the company had been in so bad a position before,
that any further fighting would lead to their being wiped out.
He did not believe in the safe-conduct in so far as it applied to us, but
thought that some at least of the company might get away. Accordingly Capt.
Shaw was sent into the building to give the necessary orders.
The rest of us were disarmed – except for a grenade which Capt. Laughland
managed to keep concealed – and made to sit in one of the cars.
The Brigadier was on the side nearest to the Kali Mas, Capt. Laughland in the
middle, and myself on the outside nearest to the building in which our troops
were.
When Capt. Shaw got into the building, the Indonesians brought up a machine gun
to cover the entrance. He and the company commander decided that any attempt to
walk out unarmed would lead to a massacre and so the order to open fire was
given.
As soon as the firing started, the three of us who were in the car crouched
down on the floor as far as possible. An Indonesian came up to the Brigadier’s
window with a rifle. He fired four shots at three of us, all of which missed.
He went away while we shammed dead. The battle went on for about two and a half
hours, to about 2030 hrs, by which time it was dark. At the end of that time,
the firing died down to some extent, and we could hear shouting as though the
Indonesians were being collected. Two of them came up to the car and attempted
to drive it away. That failed and one of them opened the back door on the
Brigadier’s side. The Brigadier moved, and as they saw from that, that he was
still alive, he spoke to them and asked to be taken to one of the party
leaders. The two Indonesians went away to discuss this, and one of them came
back to the front door on the Brigadier’s side. The Brigadier spoke to him
again, the Indonesian answered, and then suddenly reached his hand in through
the front window, and shot the Brigadier. It took from fifteen seconds to
half-a-minute for the Brigadier to die, but from the noise he made at the end,
there was absolutely no doubt that he was dead. (Notes from Parrot: This was
the first time that these details of the final moments of Brigadier Mallaby had
been made public. In this second report Smith offered the following
explanation:”In the report made by Capt.Laughland and myself the following
morning we stated that the Brigadier was killed instantly. This was done in
order to spare the feelings of the family.”)
As soon as he had fired, the Indonesian ducked down beside the car, and
remained there until after the Brigadier was dead. I took the pin out of the
grenade which Capt.Laughland had previously passed to me, and waited. The
Indonesian appeared again, and fired another shot which grazed Capt.
Laughland’s shoulder. I let go the lever of the grenade, held it for two
seconds to make sure it was not returned and threw it out of the open door by
Brigadier’s body. As soon as it had exploded, Capt. Laughland and I went out of
the door on my side of the car, waited for a short time, then ran around the
car and dived into the Kali Mas. As the two Indonesians by the side of the car
did not attemp to interfere with us it is presumed that they were killed by the
grenade—which also set the back seat of the car on fire. After five hours in
the Kali Mas, we managed to reach our troops in the Dock area.”
Keterangan Smith ini a.l. menguatkan penjelasan Gopal, bahwa memang benar pihak
Inggris yang memulai penembakan. Kesaksian Smith ini mirip dengan keterangan
Abdul Azis; dan ternyata dia tidak mati seperti dugaan Smith.
Sehubungan dengan penembakan dengan senapan yang terjadi sebelum penembakan
terhadap Mallaby, dalam surat kepada Parrot tertanggal 23 November 1973, Smith
menulis antara lain:
“I have no idea what hapenned to the four shots from the rifleman. He
approached the car from the left (the Brigadiers side) with the rifle at the
ready, and looking at the three of us. I am not ashamed to say at this point I
shut my eyes and started counting the shots!
I think all three of us were equally surprised at finding both ourselves and
the others alive afterwards!”
Tentu sangat luar biasa, bahwa menembak tiga orang yang sedang duduk di dalam
mobil yang sempit dengan empat tembakan, namun tak satupun yang mengena. Hal
ini menunjukkan, bahwa dapat dipastikan, pemilik senapan itu baru pertama kali
menembak, sehingga menembak tiga orang dengan jarak mungkin paling tinggi 2
meter, empat tembakan meleset semua.
Mengenai ciri-ciri penembak Mallaby, dalam surat kepada Parrot tanggal 20
Februari 1974, Smith menulis:
“… the indonesian who killed the Brigadier was a young lad around 16 or 17
approximately, but it was too dark to see whether he was wearing any sort of
uniform. The weapon was an automatic pistol …”
Kemudian pada 20 Februari 1974, Smith menulis kepada Parrot yang isinya antara
lain:
“I have no recollection of the conversation that the Indian interpreter
reported and while I certainly could not state that I heard everything that
happenned, I think I should have remembered this, if not now after 30 years,
certainly at the time when I wrote my report. However, in all fairness, I must
say that there were moments when my attention was distracted from the Brigadier
myself. For instance, I can remember spending some time trying to convince a
very angry young Indonesian that I had not personally be responsible for his
brother’s death.
Going back to my report, the position of all of us was very closely gouped
around one car so that there was only a matter of a very few feet between us.
Therefore, Brigadier Mallaby was certainly able to hear when Captain Shaw
agreed to the demands of the mob, which was why he was able to countermand it
immediately. As I said, he then changed his mind in the hope that some of the
men at least might reach safety, but the orders that he gave Captain Shaw were
that the troops in the building should lay down their arms and come out
unarmed, in the hope of safe-conduct.
I definitely did not hear any suggestion that they should be ordered to open
fire after a certain length of time had elapsed. The one thing that has always
been quite firmly established in my memory is that the orders to fire were
given by Captain Shaw once he had got into the building.”
Yang perlu diragukan di sini adalah dugaan Smith, bahwa Mallaby tewas sebagai
akibat tembakan pistol pemuda Indonesia. Seperti dalam tulisannya, dia
mengatakan bahwa pada saat itu sekitar pukul 20.30 dan keadaan gelap. Memang
aliran listrik di daerah tersebut telah diputus oleh pihak Indonesia. Dia hanya
mengatakan:
“…berdasarkan suara yang didengar dari arah Mallaby, dia yakin bahwa Mallaby
telah tewas 15 – 30 detik setelah ditembak dengan pistol…”
Selain itu dia juga mengakui, bahwa granat yang dilemparkannya melewati tubuh
Mallaby telah mengakibatkan terbakarnya jok belakang mobil mereka, artinya
tempat Mallaby duduk. Menurut pemeriksaan di rumah sakit, jenazah Mallaby
sangat sulit dikenali, karena hangus dan hancur. Dia dikenali melalui tanda
bekas jam tangan di kedua lengannya, karena Mallaby dikenal dengan kebiasaannya
untuk memakai dua jam tangan; jadi bukan identifikasi wajah atau ciri-ciri
tubuh lain. Hal ini disampaikan oleh dr. Sugiri, kepada Kolonel dr. W.
Hutagalung.
Seandainya keterangan Smith benar, bahwa Mallaby tidak memberikan perintah
untuk memulai menembak, bahkan sebaliknya, yaitu menginstruksikan Kapten Shaw
untuk memerintahkan tentara Inggris yang di dalam gedung agar mereka meletakkan
senjata dan ke luar gedung tanpa senjata, maka telah terjadi pembangkangan yang
berakibat fatal, yaitu perintah dari komandan kompi, Mayor Gopal, untuk memulai
menembak. Dilihat dari sudut mana pun, timbulnya tembak-menembak yang berakibat
tewasnya Mallaby, adalah kesalahan tentara Inggris.
Mengenai tuduhan bahwa Mallaby tewas akibat tembakan pistol, sangat diragukan.
Jelas untuk membela diri, Smith dan Laughland harus menyatakan dahulu bahwa
Mallaby telah tewas ketika Smith melemparkan granat, yang kemudian justru
membakar bagian belakang mobil yang mereka dan Mallaby tumpangi. Beberapa saksi
mata di pihak Indonesia mengatakan bahwa mobil Mallaby meledak akibat granat
tersebut sehingga dengan demikian, boleh dikatakan Mallaby tewas karena
kesalahan pihak Inggris sendiri. Dari kronologi kejadian dapat disimpulkan,
bahwa Mallaby tewas karena tembak-menembak berkobar lagi.
Yang sangat menarik untuk dicermati sehubungan dengan pelemparan granat oleh
Kapten Smith, adalah kesaksian Imam Sutrisno Trisnaningprojo, seorang pemuda
berpangkat kapten, mantan anggota PETA. Trisnaningprojo ikut dalam
iring-iringan mobil dalam rangka penyebarluasan hasil kesepakatan
Sukarno-Hawthorn. Bahwa Smith adalah orang yang melemparkan granat yang
mengakibatkan mobil yang ditumpangi Mallaby terbakar, diakui oleh Smith
sendiri, tetapi Trisnaningprodjo menuturkan, bahwa Smith tidak berada di dalam
mobil bersama Mallaby, melainkan bersama Laughland di luar mobil ketika terjadi
penembakan terhadap Mallaby. Trisnaningprojo melihat, Smith berada di dekat
gedung dan melemparkan granat ke arah pemuda yang menembak Mallaby, tetapi
granat meledak di sebelah mobil Mallaby yang pintu belakangnya terbuka. Jadi,
Captain Smith melempar granat tidak dari dalam mobil, melainkan dari luar
mobil. Ini berarti bahwa tidak ada yang mengetahui kondisi Mallaby setelah
penembakan dari pemuda Indonesia tersebut, apakah terluka atau memang telah
tewas seperti penuturan Smith.
Baik dari kesaksian Smith, maupun keterangan Trisnaningprojo yang dilengkapi
sketsa lokasi pada saat kejadian, pemuda Indonesia menembak dengan pistol ke
arah Mallaby melalui jendela depan di sisi kiri mobil, sedangkan Mallaby –masih
menurut Smith- duduk di jok belakang, di sisi paling kiri. Dari posisi pemuda
Indonesia tersebut, walaupun dia menggunakan tangan kiri, kemungkinan besar
bagian tubuh Mallaby sebelah kanan yang akan terkena tembakan, dan ini biasanya
tidak mematikan. Berbeda, apabila yang terkena adalah tubuh bagian kiri, di
bagian jantung.
Di samping itu, juga tidak ada yang bisa memastikan, bahwa tembakan pemuda
tersebut benar mengenai sasaran karena sebelumnya -juga menurut Smith- ketika
bertiga masih duduk di bagian belakang mobil, ada yang menembak ke arah mereka
dengan senapan sebanyak empat kali, namun tak satu peluru pun yang mengenai
mereka. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa pemuda yang menembak dengan pistol,
juga baru pertama kali memegang pistol, sehingga belum mahir menggunakannya.
Ketika diwawancarai oleh Ben Anderson pada tanggal 13 Agustus 1962, Dul Arnowo
menyatakan, bahwa dia yakin Mallaby secara tidak sengaja, telah terbunuh oleh
anak buahnya sendiri.
Dalam laporan rahasia kepada atasannya, Kolonel Laurens van der Post mantan
Gubernur Militer Inggris di Batavia/Jakarta tahun 1945, menuliskan (Sir Laurens
van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray, London, 1996):
“The detail of what happenned at Sourabaya is not really relevant to this
review but it is interresting that the very latest evidence suggests that the
Mallaby murder, far from being premiditatet or a deliberate breach of faith,
was caused more by the indescribable confusion and nervous excitement of
everyone in the town. Had General Hawthorn, the General Officer Commanding Java
at the same time, had proper Civil Affairs and political officers on his staff
to draft his unfortunate proclamations for him and to keep [in] continuous and
informed contact with population, the story of Sourabaya may well have been
different.”
Pemboman Surabaya, November 1945
Setelah Letnan Jenderal Sir Phillip Christison mengeluarkan ancamannya, dalam
waktu singkat Inggris menambah kekuatan mereka di Surabaya dalam jumlah sangat
besar, mobilisasi militer Inggris terbesar setelah Perang Dunia II usai.
Pada 1 November, Laksamana Muda Sir. W. Patterson, berangkat dari Jakarta
dengan HMS Sussex dan mendaratkan 1.500 Marinir di Surabaya. Mayor Jenderal
Mansergh, Panglima 5th British-Indian Division, berangkat dari Malaysia
memimpin pasukannya dan tiba di Surabaya tanggal 3 November 1945. Masuknya
pasukan Divisi 5 yang berjumlah 24.000 tentara secara berangsur-angsur, sangat
dirahasiakan. Divisi 5 ini sangat terkenal karena ikut dalam pertempuran di El
Alamein, Afrika Utara di mana pasukan Marsekal Rommel, perwira tinggi Jerman
yang legendaris dikalahkan. Mansergh juga diperkuat dengan sisa pasukan Brigade
49 dari Divisi 23, kini di bawah pimpinan Kolonel Pugh, yang menggantikan
Mallaby.
Rincian pasukan Divisi 5:
4th Indian Field Regiment.
5th Field Regiment.
24th Indian Mountain Regiment.
5th (Mahratta) Anti-Tank Regiment (artileri).
17th Dogra Machine-Gun Battalion.
1/3rd Madras Regiment (H.Q. Battalion).
3/9th Regiment (reconnaissance battalion)
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal Robert Guy Loder-Symonds)
9th Indian Infantry Brigade.
2nd West Yorkshire Regiment.
3/2nd Punjab Regiment.
1st Burma Regiment.
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal H.G.L. Brain)
123rd Indian Infantry Brigade.
2/1st Punjab Regiment.
1/17th Dogra Regiment.
3/9th Gurkha Rifles.
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal E.J. Denholm Young)
161st Indian Infantry Brigade.
I/1st Punjab Regiment.
4/7th Rajput Regiment.
3/4th Gurkha Rifles.
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal E.H.W. Grimshaw)
Armada di bawah komando Captain R.C.S. Carwood a.l. terdiri dari: Fregat HMS
Loch Green dan HMS Loch Glendhu; kapal penjelajah HMS Sussex serta sejumlah
kapal pengangkut pasukan dan kapal pendarat (landing boot).
Persenjataan yang dibawa adalah skuadron kavaleri yang semula terdiri dari tank
kelas Stuart, kemudian diperkuat dengan 21 tank kelas Sherman, sejumlah
Brenncarrier dan satuan artileri dengan meriam 15 pon dan Howitzer kaliber 3,7
cm. Tentara Inggris juga dipekuat dengan squadron pesawat tempur yang terdiri
dari 12 Mosquito dan 8 pesawat pemburu P-4 Thunderbolt, yang dapat membawa bom
seberat 250 kilo. Jumlah pesawat terbang kemudian ditambah dengan 4 Thunderbolt
dan 8 Mosquito.
Tanggal 9 November 1945, Mansergh menyerahkan 2 surat kepada Gubernur Suryo.
Yang pertama berupa ULTIMATUM yang ditujukan kepada “All Indonesians of
Sourabaya” lengkap dengan “Instructions”. Yang kedua merupakan rincian dari
ultimatum tersebut.
Bunyi ultimatum yang disebarkan sebagai pamflet melalui pesawat udara pada 9
November pukul 14.00. adalah :
“November, 9th. 1945.
TO ALL INDONESIANS OF SOERABAYA.
On October 28th, the Indonesians of Soerabaya treacherously and without
provocation, suddenly attacked the british Forces who came for the purpose of
disarming and concentrating the Japanese Forces, of bringing relief to Allied
prisoners of war and internees, and of maintaining law and order. In the
fighting which ensued British personel were killed or wounded, some are
missing, interned women and children were massacred, and finally Brigadier
Mallaby was foully murdered when trying to implement the truce which had been
broken in spite of Indonesian undertakings.
The above crimes against civilization cannot go unpunished. Unless therefore,
the following ordes are obeyed without fail by 06.00 hours on 10th.November at
the latest, I shall enforce them with all the sea, land and air forces at my
disposal, and those Indonesians who have failed to obey my orders will be
solely responsible for the bloodshed which must inevitably ensue.
(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces,
East Java.
Instructions
My orders are:
1. All hostages held by the Indonesians will be returned in good condition by
10.00 hours 9th. November.
2. All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth Movements, the
Chief Police and the the Chief Official of the Soerabaya Radio will report at
Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They will approach in single file
carrying any arms they possess. These arms will be laid down at a point 100
yards from the rendezvous, after which the Indonesians will approached with
their hands above their heads and will taken into custody, and must be prepared
to sign a document of unconditional surrender.
3. (a) All Indonesians unauthorized to carry arms and who are in possession of
same will report either to the roadside Westerbuitenweg between South of the
railway and North of the Mosque or to the junction of Darmo Boulevard and Coen
Boulevard by 18.00 hours 9 th November, carrying a white flag and proceeding in
single file. They will lay down their arms in the same manner as prescribed in
the preceeding paragraphs. After laying down their arms they will be permitted
to return to their homes. Arms and equipment so dumped will taken over by the
uniformed police and regular T.K.R. and guarded untill dumps are later taken
over by Allied Forces from the uniformed police and regular T.K.R.
(b) Those authorises to carry arms are only the uniformed police and the
regular T.K.R.
4. These will thereafter be a search of the city by Allied Forces and anyone
found in possession of firearms of conealing them will be liable to sentence of
death.
5. Any attemp to attack or molest the Allied internees will be punishable by
death.
6. Any Indonesian women and children who wish to leave the city may do so
provided that they leave by 19.00 hours on 9th November and go only towards
Modjokerto or Sidoardjo by road.
(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces, East Java
Mansergh telah menyusun “orders”nya pada butir 2 sedemikian rupa, sehingga
boleh dikatakan tidak akan mungkin dipenuhi oleh pihak Indonesia:
“Seluruh pemimpin bangsa Indonesia termasuk pemimpin-pemimpin Gerakan Pemuda,
Kepala Polisi dan Kepala Radio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg pada 9
November jam 18.00. Mereka harus datang berbaris satupersatu membawa senjata
yang mereka miliki. Senjata-senjata tersebut harus diletakkan di tempat
berjarak 100 yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang Indonesia itu
harus mendekat dengan kedua tangan mereka di atas kepala mereka dan akan
ditahan, dan harus siap untuk menandatangani dokumen menyerah tanpa
syarat.”
(All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth Movements, the
Chief Police and the Chief Official of the Soerabaya Radio will report at
Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They will approach in single file
carrying any arms they possess. These arms will be laid down at a point 100
yards from the rendezvous, after which the Indonesians will approached with
their hands above their heads and will taken into custody, and must be prepared
to sign a document of unconditional surrender.)
Dalam butir dua ini sangat jelas tertera “ …menandatangani dokumen menyerah
tanpa syarat.” Dengan formulasi yang sangat keras dan kasar ini, Mansergh pasti
memperhitungkan, bahwa pimpinan sipil dan militer di Surabaya tidak akan
menerima hal ini, sebab bila sebagai pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia
menandatangani pernyataan MENYERAH TANPA SYARAT, berarti melepaskan kemerdekaan
dan kedaulatan yang baru saja diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Yang dimaksud dengan senjata adalah: senapan, bedil, pedang, pistol, tombak,
pisau, pedang, keris, bambu runcing, tulup, panah berbisa atau alat tajam yang
dapat dilemparkan.
Sejarah mencatat, bahwa pimpinan sipil dan militer di Surabaya memutuskan,
untuk tidak menyerah kepada tentara Sekutu dan memilih untuk melawan.
Inggris menepati ultimatumnya dan memulai pemboman dan penembakan dari
meriam-meriam kapal pukul 06.00. Serangan hari pertama berlangsung sampai malam
hari. Meriam-meriam di kapal-kapal perang dan bom-bom dari udara mengenai
tempat-tempat yang penting dalam kota, seperti daerah pelabuhan, kantor PTT,
kantor pengadilan, gedung-gedung pemerintah dan juga pasar-pasar. Pemboman dari
darat, laut dan udara ini diselingi dengan tembakan-tembakan senapan-mesin yang
dilancarkan oleh pesawat pemburu, sehingga mengakibatkan korban beribu-ribu
orang yang tidak menduga akan kekejaman perang modern. Residen dan Walikota
segera memerintahkan pengungsian semua wanita dan anak-anak ke luar kota.
Semua saksi mata, begitu juga berita-berita di media massa, baik Indonesia
maupun internasional mengatakan, bahwa di mana-mana mayat manusia dan hewan
bergelimpangan, bahkan ada yang bertumpukan. Bau busuk mayat berhari-hari
memenuhi udara kota Surabaya karena mayat-mayat tersebut tidak dapat
dikuburkan. Mereka yang bekerja di rumah-sakit menceriterakan, bahwa
korban-korban tewas tidak sempat dikubur dan hanya ditumpuk saja di dalam
beberapa ruangan.
Dalam bukunya, Birth of Indonesia, David Wehl menulis:
“Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki satu per
satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda dan
kucing-kucing serta anjing-anjing, bergelimpangan di selokan-selokan;
gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telepon
bergelantungan di jalan-jalan, dan suara pertempuran menggema di tengah-tengah
gedung-gedung kantor yang kosong ... Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua
tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya
bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian
dengan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat
buku-buku petunjuk militer Jepang.”
Kolonel Dr. Wiliater Hutagalung menuliskan dua peristiwa yang tak dapat
dilupakannya:
“… ketika seorang pemuda dibawa masuk ke ruang bedah dengan kedua kakinya
hancur terlindas roda kereta api. Rupanya karena terlalu lelah sehabis
pertempuran, tertidur di pinggir rel kereta api dengan kedua kakinya melintang di
atas rel. Dia tidak terbangun ketika ada kereta api yang lewat, sehingga kedua
kakinya putus dilindas kereta api. Dia masih sadar waktu dibaringkan ke tempat
tidur, tetapi sebelum kita dapat menolongnya dia berseru:
‘Merdeka! Hidup Indonesia!’,
lalu menghembuskan napas terakhirnya.
Peristiwa yang kedua adalah, ketika melihat kesedihan seorang ibu muda yang
menatap wajah anak perempuannya yang kira-kira berumur dua tahun, yang tewas
akibat lengannya putus terkena pecahan peluru mortir. Dia menggendong anak itu
ke Pos Sepanjang tanpa mengetahui, bahwa anaknya telah tewas ketika sampai di
Sepanjang. Kami menanyakan:
‘Di mana ayah anak ini?’
Ibu muda itu menjawab: ‘Tidak tahu, suami diambil tentara Jepang, dijadikan
romusha (pekerja paksa). Dia belum pernah melihat anaknya.’
Pihak Inggris menyebutkan, bahwa berdasarkan data yang mereka kumpulkan,
tercatat “hanya” 6.000 korban tewas di pihak Indonesia. Dr. Ruslan Abdulgani
dalam satu kunjungan ke Inggris, mendapat kesempatan untuk melihat arsip
nasional, dan antara lain melihat catatan mengenai jumlah korban yang tewas.
Abdulgani menulis :
Pihak Inggris menemukan di puing-puing kota Surabaya dan di jalan-jalan 1.618
mayat rakyat Indonesia ditambah lagi 4.697 yang mati dan luka-luka. Menurut
laporan dr. Moh. Suwandhi, kepala kesehatan Jawa Timur, dan yang aktif sekali
menangani korban pihak kita, maka jumlah yang dimakamkan secara massal di Taman
Bahagia di Ketabang, di makam Tembokgede, di makam kampung-kampung di Kawatan,
Bubutan, Kranggan, Kaputran, Kembang Kuning, Wonorejo, Bungkul, Wonokromo,
Ngagel dan di tempat-tempat lain adalah sekitar 10.000 orang. Dengan begitu
dapat dipastikan bahwa sekitar 16.000 korban telah jatuh di medan laga bumi
keramat kota Surabaya.
Berdasarkan data yang dikumpulkan rekan-rekan dokter serta paramedis lain,
Kolonel dr. Wiliater Hutagalung memperkirakan, korban tewas akibat agresi
militer Inggris dapat melebihi angka 20.000, dan sebagian terbesar adalah
penduduk sipil, yang sama sekali tidak menduga akan adanya serangan tentara
Inggris. Di Pasar Turi dan sekitarnya saja diperkirakan ratusan orang yang
sedang berbelanja tewas atau luka-luka, termasuk orang tua, wanita dan
anak-anak, bahkan pasien-pasien yang rumah sakitnya ikut terkena bom.
Menurut Woodburn Kirby, korban di pihak tentara Inggris dari tanggal 10 sampai
22 November 1945 di Jawa tercatat 608 orang yang tewas, hilang atau luka-luka,
dengan rincian sebagai berikut:
- tewas : 11 perwira dan 87 prajurit.
- hilang : 14 perwira dan 183 prajurit.
Hampir semua adalah korban pertempuran di Surabaya. Namun diduga, korban di
pihak Inggris sebenarnya lebih tinggi, karena menurut Anthony James-Brett,
korban di pihak Inggris dalam pertempuran tanggal 28 – 30 Oktober saja sudah
mencapai 392 orang, yang tewas, luka-luka atau hilang (18 perwira dan 374
prajurit). Diperkirakan korban di pihak Inggris dalam pertempuran dari tanggal
28 Oktober – 28 November 1945 mencapai 1.500 orang yang tewas, luka-luka dan
hilang.
Pihak Indonesia menyebut, bahwa sekitar 300 tentara Inggris asal India/Pakistan
melakukan desersi dan bergabung dengan pihak Republik Indonesia.
Kolonel Laurens van der Post dalam laporannya menulis:
“…But the important lessons of Sourabaya were not these so much as the extent
to which they proved that Indonesian nationalism was not a shallow, effiminate,
intellectual cult but a people-wide, tough and urgent affair.”
Willy Meelhuijsen dalam bukunya “Revolutie in Soerabaya, 17 agustus – 1
december 1945” mengutip seorang pakar sejarah Australia, M.C. Ricklefs, yang
menulis:
“ The Republicans lost much manpower and many weapons in the battle of
Sourabaya, but their sacrificial resistance there created a symbol of rallying
cry for the Revolution. It also convinced the British thet wisdom lay on the
side of neutrality in the Revolution. The battle of Sourabaya was a turning
point for the Dutch as well, for it schocked many of them into facing reality.
Many had quite genuinely believed that the Republic represented only a gang of
collaborators without popular support. No longer could any serious observer
defend such a view.”
Pertempuran heroik di Surabaya merupakan satu dari empat pertempuran dan
perlawanan terhadap tentara Inggris –di samping Palagan Ambarawa, Pertempuran
“Medan-Area” dan Bandung Lautan Api- yang membuat Inggris menyadari, bahwa
masalah Indonesia tidak dapat diselesaikan melalui kekuatan militer, dan
Inggris sebagai tulasng punggung Belanda waktu itu, kemudian memaksa Belanda ke
meja perundingan, dan Inggris menjadi fasilitator pertama dalam perundingan
Linggajati.
Alasan pemboman yang sebenarnya
Apabila dua butir alasan yang tertera dalam ultimatum 9 November 1945 tidak
benar, apa alasan sebenarnya, yang membuat Inggris mengerahkan pasukannya yang
terbesar dan termodern setelah Perang Dunia II usai?
I. Alasan psikologis-emosional.
• Inggris datang sebagai salah satu pemenang Perang Dunia II. Brigade 49 adalah
bagian dari Divisi 23 yang menyandang julukan kebanggaan “The Fighting Cock”,
mempunyai pengalaman tempur melawan Jepang di hutan-rimba Burma. Dalam
pertempuran 28 dan 29 Oktober ’45, mereka “dipaksa” oleh rakyat Surabaya
mengibarkan bendera putih dan mereka yang MEMINTA BERUNDING. Suatu hal yang
tentu sangat memalukan dan menjatuhkan pamor Inggris. Mereka tidak menduga akan
diserang, sehingga persiapan pertahanan hampir tidak ada, yang mengakibatkan
banyak jatuh korban di pihak Inggris.
• Setelah Perang Dunia II usai, Inggris bertepuk dada bahwa selama lebih dari
lima tahun PD-II, mereka tidak kehilangan seorang Jenderal pun. Ternyata baru
lima hari di Surabaya, mereka telah kehilangan seorang perwira tinggi, Brigadir
Jenderal Mallaby. Kegeraman pihak Inggris memuncak pada 10 November, karena
pada saat pemboman atas kota Surabaya, dua pesawat terbang mereka berhasil
ditembak jatuh oleh pejuang Indonesia. Selain pilot pesawat, Osborne, korban
yang tewas sehari kemudian akibat luka-lukanya adalah Brigadir Jenderal Robert
Guy Loder-Symonds, Komandan Brigade Infanteri. Mallaby dan Loder-Symonds
dimakamkan di Commonwealth War Cemetary, Menteng Pulo, Jakarta Selatan.
Dapat dikatakan secara singkat di sini, alasan psikologis-emosional tersebut
adalah:
- sebagai “super power” pemenang Perang Dunia II, telah dipermalukan dengan terpaksa mengibarkan bendera putih, serta terancam akan hancur total;
- sebagai tentara yang tangguh sangat dipermalukan, karena yang tewas adalah komandan brigade, seorang perwira tinggi;
-
solidaritas korps, membalas dendam.
II. Terikat Perjanjian Dengan Belanda dan Hasil Konferensi Yalta
Bahwa langkah Inggris di Indonesia, sebenarnya hanya untuk memuluskan jalan
bagi Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia, sesuai dengan beberapa
perjanjian, baik bilateral maupun internasional. Ketika berlangsung pertempuran
melawan Inggris di Indonesia yang dimulai di Surabaya, perlahan-lahan Belanda
mendatangkan pasukannya ke Indonesia, sehingga pada akhir tahun 1946, seluruh
pasukan Inggris telah ditarik dan diganti oleh pasukan Belanda, dan sebagaimana
kita ketahui, itulah awal dari penjajahan Belanda di Indonesia jilid 2.
Penilaian mengenai tindakan Inggris ini diperoleh setelah mencermati 2 hal:
• Salah satu hasil keputusan Konferensi Yalta (4 – 11 Februari 1945), hasil
pertemuan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, adalah mengembalikan situasi
di Asia seperti sebelum invasi Jepang, dalam arti mengembalikan bekas-bekas
jajahan kepada negara penjajah sebelumnya. Keputusan tersebut diperkuat dengan
Deklarasi Potsdam, 26 Juli 1945. Hal ini terbukti dari surat Vice Admiral Lord
Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia, kepada komandan-komandan
divisi, yang isinya:
Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.
From : Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C.Imperial Forces.
Re. Directive ASD4743S.
You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East
Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and
to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish
civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in
a position to maintain services.
The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have
shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a
location which affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we
are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese
Invasion.
I wish you God speed and a sucessful campaign.
(signed)
Mountbatten
____________________
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.
Kalimat:
“In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish
civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in
a position to maintain services.” dan “……the local natives have declared a
Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the
Japanese Invasion.”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“...mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda...”
dan
“…mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
• Melaksanakan Civil Affairs Agreement (CAA), perjanjian antara
Inggris dan Belanda yang ditandatangani tanggal 24 Agustus 1945 di Chequers,
Inggris, yang isinya kesediaan Inggris membantu Belanda dalam upaya untuk
kembali berkuasa di Indonesia. Kesepakatan 24 Agustus 1945 tersebut diperkokoh
oleh Inggris dan Belanda, dalam pertemuan di Singapura tanggal 6 Desember 1945
yang dihadiri para petinggi kedua negara di Asia Tenggara. Radio San Francisco
tanggal 10 Desember 1945 menyiarkan antara lain, bahwa dalam permusyawaratan di
Singapura, Letnan Jenderal Christison telah mendapat kekuasaan seluas-luasnya
untuk menjaga keamanan di Jawa… Christison akan menggunakan kekerasan untuk
mengembalikan keamanan dan ketenteraman, supaya dapat memenuhi undang-undang
dasar dan peraturan untuk Indonesia di bawah kerajaan Belanda. Di samping
melampiaskan dendam mereka terhadap “para ekstremis Indonesia yang –katanya-
dipersenjatai Jepang” kelihatannya Inggris memanfaatkan “insiden Surabaya”
tersebut untuk memenuhi perjanjian bilateral mereka dengan Belanda, serta
menjalankan hasil keputusan Konferensi Yalta, yaitu mengembalikan situasi kepada
“Status Quo” seperti sebelum invasi Jepang.
Kesimpulan
Secara moral, tanggungjawab atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Surabaya
pada bulan November 1945, terletak pada Inggris, karena seluruh garis komando,
dari mulai Panglima Tertinggi Tentara Sekutu, Admiral Lord Louis Mountbatten,
Panglima Tertinggi Tentara Sekutu di Indonesia (AFNEI), Letnan Jenderal Sir
Philip Chritison, Panglima Divisi 5, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh,
Panglima Divisi 5, Mayor Jenderal D.C. Hawthorn, bahkan sampai ke komandan-komandan
brigade, seluruhnya adalah bangsa Inggris. Kesalahan serta tanggungjawab
Inggris dapat dibuktikan, apabila pendekatan permasalahan dilakukan dengan
suatu pendekatan logis (logical approach), yaitu dengan menggunakan kaidah
kausalitas (Kausalitätsgesetz: kaidah sebab-akibat) yang taat azas. Dari
kronologi kejadian, dapat ditelusuri penyebab atau akar permasalahan dari
sesuatu peristiwa/kejadian. Apabila ditelusuri dan diteliti satu persatu, maka
rangkaian kejadian adalah sebagai berikut:
- Mallaby tewas karena tembak-menembak di Gedung Internatio pecah lagi. Mengenai apakah dia tewas karena tembakan pistol orang Indonesia, atau karena ledakan granat dari Captain R.C. Smith, susah dibuktikan.
- Tembak-menembak dimulai oleh Inggris atas perintah Mayor Gopal, Komandan Kompi “D”, Brigade ke 49, Divisi ke 23 “The Fighting Cock” Inggris, seperti ditulisnya tanggal 24 Agustus 1974. Menurut Tom Driberg, anggota Parlemen Inggris, perintah menembak diberikan oleh Mallaby sendiri. Perintah menembak ini, apapun alasannya jelas telah melanggar perjanjian Sukarno-Mallaby tanggal 29 Oktober dan Kesepakatan Sukarno-Hawthorn tanggal 30 Oktober 1945.
- Insiden tembak-menembak di Gedung Internatio pada tanggal 30 Oktober adalah bagian dari Pertempuran 28/29 Oktober ‘45.
- Pertempuran pecah tanggal 28 Oktober karena adanya pamflet tanggal 27 Oktober, yang isinya melanggar kesepakatan yang ditandatangani antara Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober. Isi Pamflet mengenai butir ini ternyata diakui sebagai kesalahan, dan dianulir dalam kesepakatan Sukarno-Hawthorn tanggal 30 Oktober.
Bila dinilai tingkat kesalahan, maka akan terlihat:
- Mengenai tewasnya Mallaby, kemungkinan kesalahan ada pada kedua belah pihak, walaupun kemungkinannya lebih besar, bahwa Mallaby tewas akibat granat yang dilempar oleh Captain Smith. Di sini dapat dikemukakan pendapat J.G.A. Parrot, sebagai konklusi atas analisisnya, yaitu pertanyaan ke 3, mengenai siapa yang bersalah atas tewasnya Brigadier Mallaby:” Who, if anyone to blame for Brigadier Mallaby’s death?”, maka Parrot menulis, bahwa tewasnya Mallaby adalah karena kesalahannya sendiri: ” ….In the circumstances the only answer can be given to Question 3 is that Brigadier Mallaby was himself responsible for the situation that resulted in his death.” Kesimpulan inilah yang sangat penting!
- Berdasarkan kesaksian Kapten Smith, Mayor Gopal dan keterangan Tom Driberg -yang memperoleh informasi dari Kapten Shaw, ajudan Mallaby- telah diakui oleh pihak Inggris, bahwa yang memulai menembak adalah tentara Inggris yang berada di Gedung Internatio, atas perintah Mayor Gopal. Dengan demikian, terjadinya tembak-menembak yang mengakibatkan tewasnya Mallaby adalah kesalahan Inggris.
- Pecahnya pertempuran 28 Oktober adalah kesalahan Inggris, yaitu provokasi pamflet dari Jakarta tertanggal 27 Oktober, karena dengan demikian Inggris jelas telah melanggar kesepakatan tanggal 26 Oktober 1945 antara pimpinan militer Inggris (Mallaby) dan pimpinan Republik Indonesia di Surabaya.
Jadi berdasarkan analisis yang taat asas, dengan menggunakan kaidah kausalitas,
dari rangkaian kejadian tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa pemicu segala
malapetaka dan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Surabaya pada bulan November
1945, adalah pamflet Inggris tertanggal 27 Oktober 1945 dan oleh karena itu:
Segala sesuatu yang terjadi sejak 27 Oktober 1945 adalah mutlak kesalahan
Inggris.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Tentara Inggris
Dengan agresi militer yang dilancarkan mulai tanggal 10 November 1945, tentara
Inggris telah melakukan sejumlah pelanggaran besar. Dari hasil analisis,
pelanggaran yang telah dilakukan oleh tentara Inggris adalah sebagai berikut:
> Pelanggaran Kedaulatan Republik Indonesia
Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945,
sedangkan agresi militer yang dilancarkan tentara Inggris atas suatu wilayah
Republik Indonesia, dilakukan mulai tanggal 10 November 1945.
> Pelanggaran Atlantic Charter dan Charter for Peace
Walaupun pada saat itu Republik Indonesia belum diakui oleh Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB), situasi dunia waktu itu sudah hangat dengan pernyataan
kemerdekaan dari berbagai negara bekas jajahan. Pengakuan resmi hanya masalah
waktu saja. Atlantic Charter mengenai “Rights for Selfdetermination" (hak
untuk menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa) dan kerjasama antar bangsa
dalam menyelesaikan pertikaian internasional. Pada tanggal 14 Agustus 1941,
Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Sir
Winston Churchill menandatangani Atlantic Charter yang isinya a.l.:
“…Kami menjunjung tinggi hak-hak segala bangsa untuk memilih pembangunan
pemerintahan yang akan melindungi kehidupannya dan kami menghendaki supaya
hak-hak kedaulatan dan pemerintahan sendiri (self determination) dikembalikan
kepada mereka yang telah dirampas dengan kekerasan ...”
Atlantic Charter ini menjadi juga landasan dalam pertemuan beberapa negara di
San Francisco, yang menghasilkan Charter for Peace, 26 Juni 1945.
Kesepakatan beberapa negara di San Francisco tersebut menjadi dasar pembentukan
PBB, yang diresmikan tanggal 24 Oktober 1945. Selain tidak konsisten dengan
Atlantic Charter yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Inggris, Inggris
sebagai salah satu negara pendiri PBB melanggar beberapa prinsip yang telah
mereka tentukan sendiri. Ini dapat dilihat dari Preambel serta beberapa pasal
Anggaran Dasar PBB. Dalam informasi yang dikeluarkan oleh PBB tertera:
“The United Nations was established on 24th October 1945 by 51 countries
committed to preserving peace through international cooperation and collective
security. When States become Members of the United Nations, they agree to
accept the obligations of the UN Charter, an international treaty which sets
out basic principles of international relations. According to the Charter, the
UN has four purposes: to maintain international peace and security, to develop
friendly relations among nations, to cooperate in solving international
problems and in promoting respect for human rights, and to be a centre for harmonizing
the actions of nations. UN Members are sovereign countries. At the UN, all the
Member States - large and small, rich and poor, with differing political views
and social systems - have a voice and vote in this process.”
Penyerangan Inggris atas Surabaya dilakukan mulai tanggal 10 November 1945,
setelah berdirinya PBB tanggal 24 Oktober 1945. Sebagai pendiri dan anggota
PBB, Inggris telah menandatangani persyaratan untuk mematuhi Charter for Peace,
Preambel dan Anggaran Dasar PBB. Kelihatannya memang benar, bahwa Inggris
terbiasa mengabaikan kesepakatan ataupun perjanjian yang telah mereka setujui
dan tandatangani.
> Pelanggaran Preambel PBB
Dalam Preambel PBB tertulis a.l (lihat Website: www.UN.org)
- to save succeeding generations from the scourge of war, which twice in our lifetime has brought untold sorrow to mankind, and
- to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women and of nations large and small, and
- to establish conditions under which justice and respect for the obligations arising from treaties and other sources of international law can be maintained, and
- to promote social progress and better standards of life in larger freedom, AND FOR THESE ENDS
- to practice tolerance and live together in peace with one another as good neighbours, and
- to unite our strength to maintain international peace and security, and
- to ensure, by the acceptance of principles and the institution of methods, that armed force shall not be used, save in the common interest, and
- to employ international machinery for the promotion of the economic and social advancement of all peoples,
HAVE RESOLVED TO COMBINE OUR EFFORTS TO ACCOMPLISH THESE AIMS
Accordingly, our respective Governments, through representatives assembled in
the city of San Francisco, who have exhibited their full powers found to be in
good and due form, have agreed to the present Charter of the United Nations and
do hereby establish an international organization to be known as the United
Nations.
> Pelanggaran Bab 1 (Pasal 1 dan 2), Anggaran Dasar PBB
Bab 1, Pasal 1:
The Purposes of the United Nations are:
- To maintain international peace and security, and to that end: to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace;
- To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace;
- To achieve international co-operation in solving international problems of an economic, social, cultural, or humanitarian character, and in promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion; and
- To be a centre for harmonizing the actions of nations in the attainment of these common ends.
The Organization and its Members, in pursuit of the Purposes stated in Article
1, shall act in accordance with the following Principles.
- All Members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered. All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.
- All Members shall give the United Nations every assistance in any action it takes in accordance with the present Charter, and shall refrain from giving assistance to any state against which the United Nations is taking preventive or enforcement action.
- The Organization shall ensure that states which are not Members of the United Nations act in accordance with these Principles so far as may be necessary for the maintenance of international peace and security.
- Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter Vll.
Kejahatan Perang dan Pelanggaran HAM
-
Kejahatan Perang (War Crimes)
Bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dan sudah mendapat pengakuan dari beberapa negara. Kini Republik Indonesia juga tercatat sebagai anggota PBB dengan hari kemerdekaan adalah 17.8.1945. Tidak ada pernyataan perang dari pihak mana pun, baik dari pihak Inggris maupun dari pihak Indonesia. Bahkan pihak Indonesia telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah terjadinya pertempuran. Alasan Inggris waktu itu adalah menumpas ekstremis, dengan mengabaikan bahwa “ekstremis” tersebut ada di dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Agresi militer yang dilakukan oleh tentara Inggris –terbesar setelah berakhirnya Perang Dunia II- tidak dalam konteks perang dan tanpa pernyataan perang. Pemboman terhadap obyek-obyek non-militer dan pembunuhan terhadap non-combatant dalam agresi militer dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang (war crimes). - Kejahatan Atas Kemanusiaan (Crimes against humanity)
Di dalam situasi perang manapun, ada perlindungan bagi penduduk sipil. Tindakan tentara Inggris untuk membalas dendam dendam atas tewasnya seorang perwira tinggi, telah mengakibatkan tewasnya belasan ribu, bahkan mungkin lebih dari 20.000 jiwa penduduk sipil, serta hancurnya banyak sarana/prasarana nonmiliter, karena waktu itu sasaran militer sendiri tidak banyak di dalam kota Surabaya. -
Mengakibatkan Pengungsian (enforced displacement)
Diperkirakan lebih dari 150.000 penduduk terpaksa mengungsi (displaced persons) ke luar kota Surabaya; kebanyakan hanya dengan pakaian yang melekat di tubuh, karena dalam situasi kepanikan, tidak sempat memikirkan untuk membawa benda berharga. Kesengsaraan yang diderita oleh pengungsi tersebut berlanjut selama berbulan-bulan, sebelum mereka berani kembali ke kota yang telah hancur.
Penyimpangan Tugas Allied Forces
Tugas yang diberikan oleh Allied Forces (Tentara Sekutu/Serikat) hanyalah tiga
butir, yaitu:
- Melucuti persenjataan tentara Jepang serta memulangkan kembali ke negaranya.
- Rehabilitasi tawanan tentara Sekutu dan interniran (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees –RAPWI).
- Memulihkan keamanan dan ketertiban (To maintain Law and Order).
Tidak ada satu patah kata pun yang menyebutkan tugas untuk membantu Belanda
kembali berkuasa di bekas jajahannya. Ini hanya ada merupakan perjanjian
rahasia antara Churchill dan Roosevelt di sela-sela konferensi Yalta dan
perjanjian bilateral antara Inggris dan Belanda (lihat dokumen Lord
Mountbatten). Berarti ini adalah penyimpangan atau penunggangan tugas Allied
Forces serta penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang diberikan oleh Allied
Forces kepada tentara Inggris dan Australia. Dengan demikian, jelas bahwa baik
hidden agenda di konferensi Yalta yang diperkuat dengan deklarasi Potsdam,
serta perjanjian bilateral Inggris-Belanda, Civil Affairs Agreement, tidak
sejalan dengan tugas dari Allied Forces, yang harus dilaksanakan oleh Komando
Tentara Sekutu Asia Tenggara.
Pengaruh Pertempuran Surabaya Oktober-November 1945
Sejak tiba di Indonesia pada bulan September 1945, pimpinan tentara Inggris
telah mendapat informasi dari Letkol Laurens van der Post mengenai perkembangan
yang ada di Indonesia sejak tahun 1942. Informasi ini membantah keterangan Dr.
van Mook yang diberikannya kepada Vice Admiral Lord Mountbatten di Kandy, Sri
Lanka pada 2 September 1945, di mana van Mook menyatakan, bahwa Indonesia
sangat mudah ditangani, dan tidak memerlukan kekuatan bersenjata yang besar.
Informasi van Mook ini berakibat fatal bagi tentara Sekutu/Inggris. Di berbagai
tempat di Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera, perlawanan rakyat sangat
dahsyat, yang mengakibatkan korban tewas di pihak tentara Inggris sangat besar.
Selain pertempuran dahsyat di Surabaya pada bulan Oktober dan November 1945,
juga pertempuran dahsyat terjadi di Medan pada bulan Oktober dan Desember 1945,
yang dikenal sebagai Pertempuran Medan Area. Demikian juga pertempuran di
Ambarawa pada bulan Desember 1945, yang dikenal sebagai Palagan Ambarawa.
Persitiwa besar keempat yang dihadapi oleh tentara Inggris adalah perlawanan
rakyat Bandung pada bulan April 1946, yang kemudian dikenal sebagai Bandung
Lautan Api.
Empat peristiwa besar ini yang merubah sikap pimpinan tentara Inggris di
Indonesia. Tentara Inggris telah sangat lelah dengan perang. Mereka baru
selesai perang melawan Jerman sejak tahun 1939, dan melawan Jepang sejak tahun
1942. Kini mereka ditugaskan untuk membantu Belanda memperoleh Indonesia
sebagai jajahannya kembali.
Panglima tentara Inggris, Letjen P. Christison melihat, bahwa masalah Indonesia
idak dapat diselesaikan dengan kekuatan bersenjata, dan haru melalui
erundingan. Dia kemudian menyatakan kebijakan barunya, yaitu membuat Indonesia
dan Belanda “saling berciuman”, dan kemudian mereka katakan “good bye.”
Inggris menekan pemerintah Belanda untuk maju ke meja perundingan, yang diawali
dengan pertemuan informal antara Perdana Menteri RI Sutan Syahrir dengan Dr.
van Mook. Setelah itu, Inggris memfasilitasi perundingan di Linggajati pada
bulan November 1946.
. . . . . .
Epilog
Pada 9 November 1999, di Jakarta didirikan Komite Pembela Hak Asasi Rakyat
Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS). Pada 10 November 1999 KPHARS
melakukan demonstrasi ke Kedutaan Besar Inggris di Jakarta dan menuntut
Pemerintah Inggris meminta maaf kepada rakyat Surabaya khususnya dan bangsa
Indonesia umumnya atas pemboman tersebut dan bertanggungjawab atas tewasnya
sekitar 20.000 penduduk Surabaya dan kehancuran kota, terutama Surabaya bagian
selatan. Delegasi KPHARS diterima oleh Simon Tongue, First Secretary
Politics, British Embassy, dan meneruskan tuntutan kepada Duta Besar Inggris,
Sir Robin Christopher, yang kemudian diteruskan kepada Perdana Menteri Inggris
Tony Blair.
Pada 1 April 2000, Pemerintah Inggris mengirim Nigel Pooley, Head of
Indonesia-S.E.Asian Department- Foreign and Commonwealth Office London, Departemen
Luar Negeri Inggris, dan bertemu dengan Batara Hutagalung, Ketua KPHARS, di
Hotel Majapahit di Surabaya. Nigel Pooley menyampaikan, bahwa Pemerintah
Inggris telah menerima petisi tuntutan KPHARS yang disampaikan melalui Kedutaan
besar Inggris di Jakarta, dan sedang menindaklanjutinya.
Pada 31 Agustus 2000, Richard Gozney menggantikan Sir Robin Christopher sebagai
Duta Besar Kerajaan Inggris untuk Indonesia. Di akhir tahun 70-an, Richard
Gozney pernah bertugas di Kedutaan Inggris di Jakarta sebagai First Secretary
Pada 17 Oktober 2000, Batara Hutagalung, Ketua KPHARS diundang oleh Richard Gozeney
dan bertemu di kantornya di Jl. Thamrin, Jakarta. Ketua KPHARS menyampaikan
dokumen-dokumen yang membuktikan adanya konspirasi Belanda dan Inggris tahun
1945 dan juga pelanggaran HAM berat dan bahkan kejahatan perang yang telah
dilakukan oleh tentara Inggris di Surabaya bulan November 1945. Dalam
kesempatan tersebut, Batara Hutagalung mengundang Richard Gozney untuk hadir
sebagai pembicara dalam seminar yang akan diselenggarakan bersama LEMHANNAS RI.
Pada 27 Oktober 2000, bekerjasama dengan Lembaga Ketahanan Nasional RI
(LEMHANNAS RI), KPHARS menyelenggarakan seminar internasional di Gedung
Lemhannas RI dengan judul “The Battle of Surabaya November 1945. Back Ground
and Consequences.” Keynote speaker: Menteri Pertahanan RI Prof. Dr. Mahfud MD,
Pembicara: Richard Gozney, Dr. Ruslan Abdulgani, Dra. Suwarni Salyo, Mayjen TNI
(Purn.) Soebiantoro. Moderator: Dra. Irna HN Hadi Soewito dan Batara R
Hutagalung.
Selain Atase Pertahanan Inggris, juga hadir Atase pertahanan dari Jerman,
Australia, India dan Pakistan serta beberapa peserta asing lainnya.
Dalam seminar tersebut, Duta Besar Kerajaan Inggris, Richard Gozney, sebagai
pembicara kedua setelah Dr. Ruslan Abdulgani, menyampaikan pernyataan sebagai
berikut (Disampaikan dalam bahasa Indonesia, tanpa teks):
Bapak Ketua, Bapak Gubernur Lemhannas dan Bapak Ruslan Abdulgani, banyak terima
kasih.
Kesulitan saya jelas, bagaimana bisa ikuti seorang tokoh seperti yang barusan,
terutama seorang tokoh yang mempunyai ingatan, mempunyai memory seperti seekor
gajah. Saya baru 2 bulan kembali ke Indonesia; saya merasa seperti punya
ingatan atau memory seperti seekor tikus kecil, dibandingkan dengan Bapak
Ruslan. Apalagi saya tidak punya di sini beberapa lelucon seperti Bapak Ruslan.
Yang belum sempat mengantuk atau istirahat, boleh sekarang.
Pertama-tama saya mau berterima kasih banyak kepada Pak Batara Hutagalung untuk
undangan ini, dan untuk kesempatan ikut serta dalam seminar ini. Pada waktu
saya terima undangan, saya ragu-ragu, dengan pertanyaan untuk saya sendiri. Saya
tanya: “Apakah ini sudah waktunya, sudah matang untuk bisa ikut serta dalam
seminar tentang peristiwa yang begitu peka untuk Indonesia, untuk sejarah
Indonesia?” Tetapi saya dianjurkan oleh Pak Batara dan yang lain-lain dan juga
oleh beberapa tokoh di Surabaya, di mana saya bicarakan tentang hal ini. Mereka
mengatakan, sekarang sudah waktunya, dan ini dalam suasana rekonsiliasi yang
ada di sini. Sudah waktunya untuk menyampaikan sambutan dari perwakilan Inggris
di sini. Kemudian saya tidak ragu-ragu lagi. Saya menerima undangan itu,
tetapi, seperti Pak Batara bilang tadi, saya bukan ahli sejarah, apalagi ahli
sejarah peristiwa bulan Oktober dan November 1945 di Surabaya, dan malahan
belum sempat mempelajari secara mendalam dokumen-dokumen seperti yang punya Pak
Roeslan Abdulgani atau yang dipelajari Pak Roeslan di Archive di London. Saya
tidak akan bicara lama di sini, singkat saja.
Secara sangat serius, pertama-tama saya mau katakan, yaitu bahwa kami di
Inggris sangat menyesal atas tewasnya ribuan orang di Surabaya. Kami hormati
orang Indonesia yang menjadi korban dan memperingati kehidupan mereka. Kami
juga menghormati tentu saja prajurit-prajurit Inggris yang meninggal, 500 orang
yang disebut tadi oleh Pak Roeslan. Kami juga menghormati ribuan orang Belanda
dan orang Indo Belanda yang dibunuh sebagai akibat penyerbuan Indonesia oleh
Jepang pada tahun empatpuluhan itu. Oleh karena itu, kita semua hormati juga
usaha-usaha Lemhannas bersama dengan Pak Batara dan Panitia ini, untuk
menjelaskan secara rinci sejarah pada waktu tahun 1945 itu.
Seperti yang saya katakan, bukan peranan saya hari ini, karena fakta-fakta,
kenyataan itu secara rinci harus di lakukan para ahli dari
universitas-universitas; dan ada juga di Inggris. Saya kenal 3 atau 4 orang di
sana. Satu di Universitas London, satu di Oxford dan satu lagi di Inggris
Utara. Saya pikir, mereka bisa ditarik ke sini, kalau kita usahakan
bersama-sama dengan Panitia ini, bersama dengan Lemhannas dan bersama
saya.
Yang saya mau singgung sekarang, hanya sebagian latar belakangnya secara umum
dan secara politik, kalau diperkenankan. Sekarang, 55 tahun kemudian, mudah
sekali kalau kita menilai aksi pada waktu itu, kegiatan pada waktu itu,
keputusan pada waktu itu, atas dasar standar hari ini. Kalau dipertimbangkan
atas dasar standar yang sekarang tapi kejadian 55 tahun yang lalu, susah sekali
menganggap bahwa aksi 55 tahun yang lalu; ada yang pantas, ada yang acceptable,
bisa diterima hari ini.
Sebagaimana yang terjadi di Surabaya, seperti ada banyak peristiwa-peristiwa
selama perang dunia kedua, baik di Asia maupun di Eropa. Selama itu, beberapa
bulan sesudah selesai perang dunia II, kalau dinilai hari ini, atas dasar atau
standar hari ini, akan dianggap kurang acceptable, tidak acceptable. Tetapi,
membuat evaluasi atas standar atau penilaian hari ini, atas aksi-aksi 55 tahun
yang lalu, saya pikir sebenarnya itu salah; itu suatu –kalau boleh dikatakan-
godaan yang harus dihindari, karena standar-standar pada zaman itu lain. Dan
kalau di sini secara langsung yang terjadi di Surabaya, motivasinya Brigadir
Mallaby dan Jenderal yang ikut 10 hari kemudian setelah kematian Brigadir
Mallaby, mereka pada umumnya, pokoknya motivasinya jelas, dan saya pikir cukup
murni juga.
Ada kekosongan pada waktu itu, seperti Pak Ruslan tadi ceritakan, tidak ada
penyerahan Jepang yang jelas, bahkan sebaliknya. Itu disinggung dalam buku yang
ditulis oleh ayahnya Pak Batara Hutagalung. Disinggung secara sangat jelas, ada
kekosongan kekuasaan setelah penyerahan resmi oleh Jepang, tapi kenyataannya di
sini, di Jawa itu lain. Jepang tidak menyerahkan secara terperinci. Tadi Pak
Roeslan ceritakan tentang pendaratan dan sebagainya.
Nah, sebagai akibat adanya kekosongan itu, tentara kami, tentara Inggris datang
dengan 3 tujuan:
- Yang pertama, untuk menyelamatkan wanita dan anak dan orang-orang sipil yang sudah lama ditahan selama zaman Jepang dan ada kekhawatiran yang riil, yang sebenarnya, atas nasibnya orang-orang sipil, banyak wanita, banyak anak-anak juga pada waktu itu.
- Tujuan yang kedua, untuk mengatur penarikan Jepang dan juga seperti Bapak Abdulgani baru menjelaskan, itu belum dilaksanakan, belum dilakukan secara jelas, itu tujuan yang kedua.
- Dan yang ketiga, ini sesuatu yang kami mengakui terus terang, tanpa persoalan, yakni yang dimaksud dalam surat yang penting dari Panglima Asia, Mountbatten -Mountbatten tidak ada di sini, tetapi dia adalah Panglima seluruh tentara Inggris untuk wilayah Asia adalah untuk membantu Belanda, mengambil kembali Indonesia sebagai jajahan.
Nah itulah aksi motivasi tujuan kami, yang tentu saja atas dasar standar yang
hari ini, tidak bisa diterima dengan baik. Tapi saya pikir, sebaiknya kita
semua pikir atas standar atau sejarah pada zaman itu. Dan pada zaman itu, tidak
ada satu negara jajahan Inggris pun yang sudah diberi kemerdekaan; India pun
masih ada di bawah jajahan Inggris sampai tahun 1947. Wah, saya salah ya, maaf,
ini ada satu jajahan Inggris yang sudah merdeka yaitu yang disebut Amerika
Serikat, tapi hanya itu. Selanjutnya, pada waktu itu, saya katakan sebagai
orang Eropa, bahwa keadaan negara jajahan dari negara-negara Eropa seperti
Prancis, seperti Belanda, seperti Inggris, pada saat itu masih sesuatu yang
rupanya wajar, dan sekarang sudah aneh; tapi itu 55 tahun kemudian ‘kan?
Kembali ke pikiran saya yang pokok untuk kita -yang saya anjurkan- kita coba
menghindarkan yang saya sebut godaan untuk membuat evaluasi tentang kejadian
pada waktu itu atas dasar standar penilaian hari ini. Jadi pada waktu itu
standar kepentingan Inggris, latar belakangnya, semuanya lain. Nah hanya itu
yang mau saya katakan di sini. Tentu saja saya sangat gembira, bahwa Inggris,
pemerintah Inggris, perwakilan Inggris diundang untuk ikut serta di sini. Saya
menerima undangan kemarin dengan kerendahan hati, benar. Oleh karena ini
masalah sejarah Indonesia dan peranan Inggris pada waktu itu, selalu akan
merupakan suatu aspek yang kontroversial, dan untuk itu saya mau berterima
kasih telah diterima hari ini.
Saya akan membuat laporan untuk teman saya, yang anaknya Brigadier Mallaby,
sekarang sudah pensiun. Dia mantan Duta Besar Inggris di Jerman dan di Prancis;
dia salah satu diplomat Inggris yang paling senior, yang paling penting.
Sekarang sebagai direktur di satu bank di London. Soalnya saya tidak tahu, tadi
Pak Batara umumkan rencana kami atau kita untuk mengundang Mallaby ke sini.
Tentu dia belum dengar, karena saya belum memberi tahu dia, harus tunggu dulu
untuk melihat kalau bisa menariknya ke sini. Beliau belum pernah mengunjungi
makam ayahnya yang ada di sini, di Jakarta (Menteng Pulo-red). Barangkali tahun
depan atau dua tahun lagi kita bisa mengundang -yang seperti Pak Hutagalung
katakan tadi- untuk memberikan suatu kuliah atau semacam itu di suatu
universitas. Dia tidak punya pengalaman di Asia, tetapi dia tahu menahu tentang
masalah-masalah hubungan luar negeri di Eropa, dan bisa bicara tentang hal itu,
barangkali; tetapi nanti saya hubungi dia.
Sekali lagi, secara sangat serius, yang penting adalah bahwa sebagai wakil
Pemerintah Inggris, saya katakan bahwa kami orang Inggris sangat menyesal atas
tewasnya sebegitu banyak orang Surabaya pada waktu itu.
Penutup
Pada 10 Nobember 2000, di acara Peringatan Hari Pahlawan di Surabaya, terjadi
satu peristiwa bersejarah. Untuk pertamakalinya dalam sejarah seorang Duta Besar
Kerajaan Inggris, Richard Gozney, didampingi oleh Richard Philips, Direktur
British Council dan Konsul Inggris di Surabaya, menghadiri acara Peringatan
Hari Pahlawan di Surabaya. Hadir juga Atase Pertahanan Pakistan.
Bertindak sebagai Inspektur Upacara Presiden Republik Indonesia, Abdurahman
Wahid. Abdurrahman Wahid adalah Presiden RI kedua yang hadir dalam peringatan
10 November di Surabaya. Presiden RI yang pertama hadir pada acara peringatan
10 November di Surabaya adalah Sukarno, tahun 1955.
Pada hari itu juga, 10 November 2000 di Surabaya, Komite Pembela Hak Asasi
Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS) dibubarkan, dan
didirikan Yayasan Persahabatan 10 November ’45.
Minta sumbernyaaaaa
BalasHapus